BANDAR LAMPUNG – Meski telah berdamai, aparat kelurahan di Lampung yang menegakkan aturan karena rumah yang dijadikan gereja tidak memiliki izin, justru ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, Rabu (15/3/2023) malam.
Polda Lampung menetapkan Ketua RT di Bandar Lampung, Wawan Kurniawan (42), sebagai tersangka, setelah aparatur kelurahan menegakkan aturan dengan menghentikan ibadat jemaat Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD), karena gereja tidak memiliki izin, Ahad (19/2/2023) lalu.
"Upaya penyelidikan dan penyidikan kami telah melakukan pemeriksaan saksi-saksi sebanyak 15 orang," kata Kabid Humas Kombes Polisi Zahwani Pandra Arsyad di Polda Lampung, Kamis (16/0/23)
Menurutnya, penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap 15 saksi, ahli agama, maupun ahli Hukum Pidana.
Pemeriksaan terhadap Wawan dengan persangkaan dugaan perbuatan pidana Pasal 156a huruf a KUHP dan atau Pasal 175 KUHP dan atau Pasal 167 KUHP telah selesai dilaksanakan.
Dalam perkara tersebut telah dilakukan penyitaan barang bukti berupa rekaman CCTV, video, surat kesepakatan, surat izin, dan surat tanda lapor.
“Rencana tindak lanjut melengkapi berkas perkara dan kirim tahap I JPU Kejati Lampung dan limpah berkas dan tersangka untuk tahap 2 JPU," kata Pandra, dilansir Republika.
Tindakan Ketua RT dan beberapa warga mendatangi jemaat GKKD di Jl Anggrek, videonya sempat viral di media sosial.
Wawan memimpin pembubaran ibadat yang sedang berlangsung dengan memasuki aula. Meski sempat dilerai pihak gereja, namun Wawan tetap menghentikan kegiatan yang belum memiliki izin.
Gereja Ilegal
Diketahui, sebelumnya pada Selasa (21/2/2023), Republika menemui perwakilan jemaat GKKD Parlin Sihombing di gerejanya.
Dia mengaku belum mendapatkan izin penggunaan gereja untuk ibadat jemaat GKKD.
Menurut dia, pihak GKKD sudah mengajukan izin sejak 2014 dengan mendapat persetujuan 60 KTP pendukung yang dipersyaratkan, dengan melampirkan tanda tangan dan KTP warga sekitar, serta 90 KTP pengguna gedung ibadat.
“Dalam permohonan itu, sudah diketahui RT lama, Pak Iwan, Kepala Lingkungan, Bhabinkamtibmas, dan Babinsa. Artinya, jadi sudah sampai perangkat RT, dari situ kami ajukan ke kelurahan. Di situlah awal mulanya kericuhan,” kata Parlin Sihombing.
Lurah Rajabasa Jaya, Sumarno, mengatakan insiden tersebut hanya miskomunikasi kedua belah pihak.
Sebenarnya, pihak jemaat diberi batas waktu Maret 2023 untuk membuat izin lingkungan.
Gedung itu (gereja) pernah dipakai, setelah itu dikunci. Tetapi sejak Februari 2023 dipakai lagi untuk ibadat.
“Tetapi proses izinnya tidak dikerjakan. Mereka memaksa memakai tempat ini untuk ibadat,” kata Lurah Rajabasa Jaya Sumarno.
Menurut dia, pihak pemerintah dan pamong setempat tidak melarang aktivitas ibadat jemaat GKKD, asalkan sesuai dengan peraturan yang ada.
“Bukannya kami melarang, tapi karena izinnya belum ada, untuk sementara agar tidak digunakan dulu,” kata Sumarno.
Ditambahkan lurah, sejak dulu pihak jemaat GKKD belum pernah mengajukan izin.
Pada 2014 memang pernah ada pengajuan izin. Namun berdasarkan pernyataan warga, bukan minta izin untuk rumah ibadah, tapi sebatas berkaitan dengan pemilihan anggota legislatif dengan meminta tanda tangan.
Warga sekitar melarang dan tidak mengizinkan gedung/rumah tinggal itu dijadikan gereja karena penduduk sekitarnya mayoritas Muslim.
Sedangkan, mayoritas jemaat GKKD ini berasal dari luar lingkungan mereka atau pendatang.
Marlena (48), ibu rumah tangga di Jl Anggrek, mengatakan mayoritas di lingkungan tempat tinggalnya muslim, dan bisa dihitung kalau ada warga nonmuslim.
“Artinya, tidak mungkin ada gereja, kalau warganya banyak muslim,” tuturnya.
Menurut dia, keberadaan rumah tinggal sudah sering dijadikan gereja untuk jemaat beribadat.
Padahal, jemaatnya berasal dari luar lingkungan tempat tinggal tersebut, dan dinilai mengganggu aktivitas warga yang Muslim di lingkungan tersebut.
“Kalau memang mayoritas warganya nonmuslim, silakan dirikan gereja, tidak masalah,” ujar ibu tiga anak tersebut. (*)
0 Comments