NasDem Kritisi Anggota Legislatif Tak Mundur di Pilkada

 






Ketua DPP Partai NasDem Bidang Hubungan Legislatif Atang Irawan memberikan catatan kritis soal kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU).


Bandar Lampung – Ketua DPP Partai NasDem Bidang Hubungan Legislatif Atang Irawan memberikan catatan kritis soal kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kebijakan tersebut terkait bolehnya anggota DPR RI tak mundur jika maju Pilkada Serentak 2024.

.
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asyari menyatakan caleg terpilih DPR tak perlu mundur jika maju Pilkada 2024. Yang wajib mundur adalah anggota DPR terpilih menjadi kepala daerah. Hasyim mendasari pernyataannya lewat pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-XXII/2024. KPU mempersyaratkan caleg terpilih yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk membuat surat pernyataan bahwa ia bersedia mundur jika telah terlantik secara resmi menjadi anggota dewan.
.
“Jika berkaca pada Pertimbangan Putusan MK No 12/PUU-XXII/2024 tidak ada kewajiban mundur karena status calon anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD yang terpilih. Sesungguhnya belum melekat hak dan kewajiban konstitusional yang berpotensi dapat tersalahgunakan oleh calon anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD yang bersangkutan,” ujar Atang, Senin, 13 Mei 2024.

“Apalagi jika melihat selisih waktu antara pelantikan anggota DPR/DPD/DPRD dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Sehingga belum relevan untuk memberlakukan syarat pengunduran diri,” tambah Atang.
.
Kemudian Atang menilai ada dua hal yang substantif bagi KPU untuk mengatur. Pertama, KPU harus mensyaratkan surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah terlantik sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah bagi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD terpilih. Hal itu lantaran secara substantif tidak memperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan memiliki jabatan rangkap.
.
Kedua, calon anggota DPR, DPD, dan DPRD terpilih tidak boleh mengundurkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Bahkan perlu juga mengatur apabila mengundurkan diri maka teranggap jabatan organiknya yaitu anggota DPR, DPD, dan DPRD harus terdiskualifikasi.
.
“Meskipun dalam konteks penentuan jabatan melalui official elected sangat bergantung pada kebebasan pemilih untuk menentukan pilihannya. Tetapi perlu ada pembatasan agar tidak terjadi penyelundupan hukum yang berakibat pada terdisorientasi terhadap demokratisasi. Maka itulah pentingnya saksi terdiskualifikasi tersebut,” papar Atang.

Lebih lanjut, Atang memaklumi kondisi irisan norma terkait dengan mundur atau tidaknya calon anggota DPR/DPD/DPRD dalam kontestasi pilkada. Hak itu karena perumus UU pada saat menormalkan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10/2016 belum mempertimbangkan pelaksanaan pemilu legislatif dan pilkada secara serentak pada tahun 2024.
.
Kemudian menurut Atang, agar tidak terjadi irisan norma yang tidak bersesuaian satu sama lain dalam UU Pilkada. Sebaiknya KPU memberikan usulan kepada lembaga yang berwenang melantik Anggota DPR/DPD/DPR. Hal itu untuk memundurkan waktu pelantikannya setelah pelaksanaan sengketa PHPU pada Mahkamah Konstitusi:
.
“Karena terkait dengan pelantikan Anggota DPR/DPD/DPRD tidak wajib harus terlaksanakan secara bersamaan,” tutur Atang.
.
Sebab, Atang berpendapat, irisan norma dalam UU PIlkada terkait dengan hanya mengatur kewajiban mundur bagi anggota legislatif aktif. Sedangkan penetapan sebagai pasangan calon kepala daerah sudah ditetapkan terlebih dahulu sebelum adanya pelantikan sebagai anggota legislatif. Maka, perlu menjadi pertimbangan dalam evalusai dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan terkait dengan Pemilihan Umum.
.
Atang menerangkan meski tidak ada kewajiban mundur bagi calon anggota DPR/DPD/DPRD dalam pendaftaran sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Namun, partai yang mengusung calon kepala daerah atau wakil kepala daerah dapat memberlakukan kebijakan atau peraturan internal partainya. “Agar mundur dari calon anggota DPR atau DPRD terpilih,” tandasnya.

0 Comments